Senin, 18 April 2011

MEMBASMI AKAR KORUPSI YANG MENGAKAR

Oleh : Irma Yulianti


Kasus korupsi yang semakin meraja di negeri tercinta ini ibarat seperti akar pohon yang terus tumbuh dan sulit untuk dimusnahkan pohonnya jika tidak diberangus habis sampai ke akar-akarnya. Lalu bagaimanakah menumpas akar korupsi yang telah lama mengakar?.
Memberantas korupsi di Indonesia sangat sulit, karena disamping mengguritanya perbuatan ini. Hampir semua kasus korupsi selalu menguap tanpa alasan yang jelas dan tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Meski demikian, bukan berarti korupsi itu boleh dibiarkan atau bahkan dianggap perbuatan wajar. Jika itu terjadi, kehancuran bangsa dan negara ini tinggal menunggu waktu saja.
Bukan rahasia umum lagi bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againt humanity). Rakyat semakin terkungkung oleh kemiskinan karena uang yang seharusnya mengalir kepada mereka namun dimakan oleh para koruptor.

Ada dua sumber mengapa di negeri ini kasus korupsi selalu mengemuka di setiap sisi kehidupan kita. Korupsi terus tumbuh bahkan kerapkali berulang khususnya di tubuh para pejabat negara. Sumber pertama yaitu buruknya hukum. Masih segar dalam ingatan kita maraknya kasus korupsi yang tersiar hampir setiap hari menghaisi layar kaca televisi. Sejumlah terpidana kasus korupsi mendapatkan remisi, grasi dan bebas serta mendapatkan hukuman ringan. Namun dalam waktu yang berdekatan pula tersiar kabar di televisi, pencuri kecil yang mencuri karena ”terpaksa” karena faktor kemiskinannya mendapatkan hukuman yang boleh dibilang tidak adil bila dibandingkan dengan hukuman para koruptor yang notabene adalah orang-orang berada.
Buruknya hukum seperti ini, bukan tidak mungkin akan melahirkan ”monopoli hukum” oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk kepentingan internalnya. Dimana hukum bukan lagi sebagai alat untuk menegakkan keadilan tetapi justru menjadikan hukum untuk menutupi kebusukan moral para koruptor. Disini hukum bisa di beli oleh para koruptor. Maka tak heran para koruptor dengan hartanya bisa menyuap para birokrat hukum untuk melindunginya. Dalam hal ini tentu saja yang dirugikan adalah rakyat miskin. Mereka hidup dalam serba kekurangan dan penderitaan sedangkan para koruptor hidup bergelimang harta kemewahan.

Hukum di Indonesia mencerminkan sistem hukum yang sangat koruptif. Misalnya, dalam kasus peradilan. Orang yang diputuskan bersalah pada pengadilan negeri bisa dianulir oleh pengadilan tinggi. sehingga dengan harap-harap cemas arti naik banding itu adalah melenyapkan putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri. Apabila pengadilan tinggi memvonis sama atau malah memberatkan, maka masih juga dianggap tidak punya kekuatan hukum tetap karena masih dimungkinkan sebuah kasasi. Padahal kasasi membutuhkan waktu lama untuk mengusut ulang kasus yang menumpuk sebelumnya. Tetapi apabila mahkamah Agung membenarkan vonis pada tahapan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, terpidana masih punya peluang untuk lolos karena masih ada lembaga peninjaun kembali atau PK. Tentu PK memerlukan waktu bertahun-tahun, sehingga orang sudah lupa sama sekali terhadap kasus sebenarnya. Bisa jadi kasus ini akan mengambang dan menguap tanpa alasan yang jelas Dengan mengikuti cara berpikir seperti ini, maka selain membenarkan sistem hukuk kita yang sangat koruptif. Sesungguhnya kita sedang menipu diri sendiri dengan peraturan itu. jangan harap seorang penjahat dan politikus kelas kakap yang telah merampok uang negara bisa tersentuh hukum.

Hukum seharusnya dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya. Aspek hukum, moral, dan agama harus bersanding. Tidak ada aturan hukum. Tidak ada hukum tanpa moralitas. Dan tidak ada moralitas tanpa agama sebagai sumber pertama dari nilai-nilai moral dan etika.

Jadi bisa disimpulkan bahwa jika hukum itu tidak dilandaskan pada nilai-nilai moral, hukum itu sendirilah pada akhirnya menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Hukum tanpa dijiwai morallitas akan menjadikan hukum berlaku ’nyeleneh’ atau bisa juga melakukan penyimpangan-penyimpangan. Ketidakadilan pun terjadi. Tentu wong cilik yang tidak berdaya dan tidak punya apa-apa yang menjadi korban dari hukum tanpa jiwa moralitas. Yang ada hanya mencerminkan keburukan hukum.

Sumber kedua adalah buruknya manusia. Prilaku buruk para koruptor yang tak pernah jera melakukan korupsi secara terus-menerus bahkan mengeruk uang rakyat sampai bermilyar-milayar. Itu menandakan bahwa buruknya manusia dari sisi sifat dan prilaku. para pejabat koruptor yang merupakan orang-orang yang memiliki intelektual dan kekuasaan tidak seharusnya melakukan perbuatan bejat ini. karena mereka adalah pemimpin yang seharusnya memberikan contoh teladan bagi masyarakat dan negara, bukan malah mengkhianati dan menghancurkan bangsa dan negaranya dengan perbuatan tersebut.
Kedua sumber tersebut merupakan sendi-sendi virus yang bisa merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, buruknya hukum manusia telai menodai pilar-pilar keadilan. Kebenaran dibalut dengan kebohongan dan kepalsuan. Bahkan kebohongan bisa dimanupulasi menjadi kebenaran. Begitu juga dengan buruknya manusia bisa membuat mata hati manusia menjadi buta akan cahaya kebenaran dan keadilan. Bisa jadi akan melahirkan manusia yang tidak bermoral dan tidak berkarakter.

Jika kedua sumber tersebut merayapi masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pejabat pemerintahan khususnya, maka akan semakin hancurlah negeri ini. pondasi bangsa yang berlandaskan nilai-nilai budi pekerti luhur akan rapuh oleh karena tatanan masyarakatnya yang amburadul dengan buruknya hukum dan jeleknya perbuatan manusia yang tidak bermoral.

MEMBASMI AKAR KORUPSI
Dua sumber korupsi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa keduanya akan sulit di basmi jika akar korupsi ini masih menjalar ditubuh masyarakat Indonesia khususnya para petinggi negara. Menurut penulis untuk menumpas akar korupsi perlu dilakukan pembenahan dari sisi internal dan eksternal masyarakat itu sendiri. Dari sisi internal masyarakat yaitu berasal dari dalam diri setiap masyarakat untuk melakukan penanaman nilai-nilai agama dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Memupuk culture shame terhadap diri sendiri apabila melakukan hal-hal atau perbuatan buruk yang merugikan orang lain apalagi perbuatan melakukan korupsi. Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengendalian diri terhadap hawa nafsu duniawi seperti kekuasaan dan harta yang bisa saja dapat menjerumuskan kita ke dalam perbuatan syetan yang selalu mengarah pada perbuatan tidak bermoral.

Kemudian dari sisi eksternal masyarakat diantaranya pertama, semua elemen masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam memberantas korupsi di pemerintahan dengan cara mengawasi para pejabat tinggi negara apalagi jika di duga pejabat-pejabat tersebut memiliki harta yang melimpah yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak wajar. Kedua, memberikan transparansi kepada rakyat terhadap kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat bahwa harta yang dimilikinya adalah hasil miliknya sendiri bukan hasil korupsi. Serta bersedia di audit oleh auditor publik yang netral. Ketiga, komisi pemberantasan korupsi harus lebih intensif dan netral dalam memberantas korupsi jangan sampai terjebak dalam money politic. Karena bagaimana pun juga peran KPK sangat diharapkan oleh masyarakat untuk dapat membasmi kasus korupsi sampai tuntas. Keempat, mereformasi sistem hukum mengenai hukuman para pelaku korupsi agar di hukum dengan seadil-adilnya dan seberat-beratnya.

Membasmi akar korupsi sampai ke akar-akarnya tidaklah mudah, oleh karena itu seluruh masyarakat dan pemerintah hendaknya bersinergi melakukan berbagai upaya mematikan viru-virus korupsi di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Dengan melemahkan penyebaran virus korupsi di semua sektor insya Allah lambat laut akar korupsi di negeri ini tidak akan menjalar ke anak cucu kita. Semoga!


DAFTAR PUSTAKA

Media massa :
Kompas, 26 Agustus 2010
Internet :
http://bermenschool.wordpress.com/2008/11/07/etika-filsafat-moral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar