Penulis
: Irma Yulianti
Politik kampus layaknya miniatur politik negara menunjukkan eksistensi
mahasiswa sebagai calon cendekiawan, pahlawan, dan negarawan.
Sekilas ada pemandangan yang tampak berbeda dari biasanya
ketika memasuki lingkungan kampus UNJ. Kondisi lingkungan UNJ dihari-hari biasa
yang sepi dari hiruk-pikuk mahasiswa
berseliweran meneriakkan yel-yel atau visi misi
disebuah acara bertemakan ”pemilihan”. Ya itulah pemandangan yang kini
sedang menjadi topik hangat mengenai maraknya Pemilu di UNJ yang memilih
presiden BEM Jurusan-Fakultas-Universitas. Dinding-dinding dihias dengan
sejumlah famlet-famlet disana sini yang terpampang foto calon ketua dan wakil
ketua BEM Jurusan-Fakultas-Universitas disertai ”obral” visi misi dan
janji-janji para kandidat. Spanduk pun tak mau kalah ramainya mewarnai gairah
gelaran pesta pemilu raya ala politik kampus.
Politik kampus dalam penyelenggaraan pemilu raya para kandidat berlomba-lomba bersaing
memperebutkan kursi jabatan sebagai ketua BEM layaknya miniatur politik negara
yang memilih presiden dan wapres. Namun, tentu ada perbedaan yang mendasar
antara politik kampus dengan politik negara. Perbedaannya terletak pada tataran
praktis kepentingan politik dalam persaingan memperebutkan sebuah jabatan. Dalam
politik negara, praktik money politic kerap kali mewarnai persaingan
memperebutkan kursi kekuasaan. Bahkan suap menyuap pun dilakoninya demi
kepuasan individualis. Sedangkan dalam politik kampus, praktik tersebut jarang sekali ditemui. Jangankan
untuk menyuap orang lain, untuk makan sehari-hari saja di kantin rasanya masih
sulit dan bahkan terkadang masih berhutang dengan teman. Maklum mahasiswa!.
Mahasiswa memang bukanlah orang yang mempunyai kekayaan melimpah.
Pemilu raya ala politik kampus yang memilih ketua
Bem Fakultas-Jurusan-Universitas, tampak begitu semarak yang diselenggarakan
oleh KPU badan legislatif mahasiswa. Pemandangan tampak berbeda ketika memasuki
lingkungan lobby fakultas-fakultas yang ada di Universitas Negeri Jakarta ini
tergambar bagaimana ramainya para panitia penyelenggara KPU serta nampak
beberapa pemandangan kotak-kotak suara terpampang denga rapi.
Kerapkali para panitia menyuruh teman-temannya
untuk segera menyoblos para kandidat.Terkesan agak dipaksakan, padahal
calon-calon para kandidatnya pun tidak banyak diketahui oleh semua mahasiswa.
Bagaimana mahasiswa mau memilih toh mereka tidak tahu siapa saja
calon-calonnya. Bagaimana mereka mau memilih kalau mereka saja tidak mengenal dekat mengenai kemampuan para kandidat.
Mungkin bagi mereka yang tidak berkecimpung di dunia organisasi mungkin hanya
mengetahui para kandidat melalui spanduk-spanduk dan famlet-famlet yang
terpampang lebar dijalan–jalan. Itulah sebabnya mereka enggan untuk memilih.
Lain halnya dengan mahasiswa-mahasiswa yang berkecimpung di dunia organisasi,
mereka inilah yang kemudian banyak menjadi golongan pemilih. Karena mereka mungkin lebih banyak tahu
mengenai para kandidat ini.
Inilah yang menjadi sebuah permasalahan kita semua
sebagai mahasiswa UNJ khususnya para birokrat organisasi pemerintahan mahasiswa
maupun organisasi legislatif mahasiswa. Perlu adanya resolusi permasalahan yang
harus diselesaikan bersama mencari perbaikan ke arah yang lebih baik. Agar
pemilu raya mendatang lebih hidup lagi dengan calon-calon pemimpin yang agamis
dan berintelektual tinggi serta dikenal semua mahasiswa. Karena bagaimana pun
juga seorang pemimpin adalah memimpin yang membawa aspirasi teman-teman
mahasiswanya serta memperjuangkan suara-suara mahasiswa.
Kita butuh pemimpin yang profesional dalam bekerja,
berdedikasi tinggi demi kepentingan sesama serta menampung aspirasi-aspirasi
mahasiswa. Membongkar birokrasi kampus yang tertutup dan menuntut tegaknya keadilan
serta transparansi.
Pada akhirnya, siapapun pemerintahan yang terpilih
semoga mampu membumikan lebih inten semangat
” ruh” budaya ilmiah dikalangan mahasiswa. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Selamat berjuang insan pembawa perubahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar