Senin, 27 Juni 2011

Kepemimpinan Pancasila


I.I. Latar Belakang Masalah

Studi tentang kepemimpinan sudah sangat tua dan melahirkan begitu banyak teori, mulai dari the great men theory yang menganggap bahwa pemimpin itu dilahirkan, kemudian dilanjutkan dengan teori sifat yang mencoba menidentifikasi kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada pemimpin yang berhasil, kemudian lahir teori prilaku yang menganalisis kepemimpinan yang berhasil itu ditentukan oleh prilaku-prilaku tertentu, dan teori kontingensi yang menganalisis bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada situasi dan kondisi dimana kepemimpinan itu dijalankan. Inilah garis besar teori kepemimpinan yang berkembang selama ini. Namun pada tataran teori ini tidak satupun teori yang bisa menjelaskan konsep teori apa yang cocok untuk situasi kondisi yang ada di indonesia sebagaimana yang dijelaskan oleh teori situasional atau kontingensi. Ada suatu konsep yang dikemukankan dari teori lokal yang berdasarkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila.
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia, dimana pola hidup masyarakatnya selalu berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada pancasila. Namun apa yang terjadi, masih banyak dari masyarakat kita yang bisa dan mau mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya. Begitu juga dengan para pemimpin kita, kita lihat dari puncak teratas kepemimpinan negeri kita yaitu presiden-presiden kita.
 Kita mulai dari presiden kita pertama yaitu Sukarno. Sukarno adalah pencetus dan salah satu the founding father bangsa ini. Pancasila juga terlahir dari konsep para founding father bangsa ini, namun jika kita lihat dari kepemimpinan Sukarno bahwa Sukarno lebih menonjolkan kharismatiknya, tak sedikit orang yang meragukan Sukarno, namun apakah Sukarno sudah menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinannya. Sukarno jika kita lihat dari sejarahnya juga tidak menerapkan seluruhnya dari nilai-nilai pancasila, hal ini terbukti dengan keinginannya untuk menjadi presiden seumur hidup, hal ini sangat bertentangan dengan nilai dari sila ke-4 yaitu dengan nilai-nilai demokrasinya. Begitu juga dengan paham komunisme yang menurut sejarah dianut oleh Sukarno, hal ini bertentang dengan prinsip keadilan yang dijelaskan dalam konsep kepemimpinan yang berkeadilan yang berarti menempatkan sesuatu pada porsinya bukan sama rata dan sama rasa. 
Oleh karena itu disinilah latar belakang kami mengambil tema tentang kepemimpinan pancasila ini. Kepemimpinan pancasila yang unsur-unsur nilainya memiliki nilai universal, namun, realitanya para pemimpin bangsa ini dalam memimpin tidak sepenuhnya memperlihatkan atau menginternalisasikan nilai-nilai pancasila ke dalam sikap dan tingkah lakunya untuk memimpin masyarakatnya maupun bawahannya.
I.2. Tujuan Penulisan

 tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
Untuk mengetahui dan memahami definisi kepemimpinan
Untuk mengetahui dan memahami apa itu kepemimpinan pancasila
Untuk menegetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
Untuk mengetahui dan memahami tentang sumber-sumber kepemimpinan pancasila
Untuk mengetahui dan memahami tentang asas-asas kepemimpinan pancasila
Untuk mengetahui dan memahami tentang landasan-landasan kepemimpinan pancasila

I.3. Rumusan Masalah

 Dalam makalah ini rumusan masalah yang kami paparkan yaitu tentang ” Bagaimanakah konsepsi dasar kepemimpinan Pancasila dan bagaimana nilai-nilai, asas, sumber, dan landasan dalam kepemimpinan pancasila itu”?
2.1. Pengertian Kepemimpinan

Beberapa pendapat para ahli tentang kepemimpinan mengandung pengertian dan makna yang sama. Antara lain dikemukakan oleh:
1. Sutarto
Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Sondang P. Siagian
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar melaksanakan pekerjaan bersama menuju suatu tujuan tertentu.
3. Ordway Tead
Kepemimpinan adalah aktifitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4. George Terry
Kepemimpinan adalah hubungan yang erat ada dalam diri orang atau pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain untuk bekerja sama secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai keinginan pemimpin.
5. Franklin G. Mooore
Kepemimpinan adalah kemampuan membuat orang-orang bertindak sesuai dengan keinginan pemimpin.
Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menggerakan orang lain agar mau bekerja dengan senang hati untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2.2. Konsep Kepemimpinan Pancasila

Dalam rangka menjalankan tugas kewajibannya seorang pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Lebih-lebih dalam kemerdekaan dan pembangunan. Berhasilnya pembangunan nasional tergantung peran aktif rakyat Indonesia, dengan sikap mental, tekad semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Dengan demikian perlu dikembangkan motivasi membangun dikalangan masyarakat luas dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinannya. Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus merupakan sistem nilai yang harus dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya para pemimpin. Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan yang selalu menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila
Berikut disampaikan suatu pemikiran mengenai kepemimpinan yang selanjutnya diterapkan di Indonesia:
Seorang pemimpin di Indonesia hendaknya memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila
1Seorang pemimpin di Indonesia adalah seorang yang mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan kemajuan zaman
2.Seorang pemimpin hendaknya berwibawa, yakni timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya, bukan karena katakutan, tetapi karena kesadaran dan kerelaan
3.Seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin benar-benar bersifat “ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”
Menurut Kartini Kartono
Kartini Kartono menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kepemimpinan, yaitu:
1Kepemimpinan di Era pembangunan Nasioanal harus bersumber pada falsafah negara, yakni pancasila
2. Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai
3Diharapkan agar Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisasi.
Manurut Ary Murty
Menurut Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepamimpinan yang berasas, berjiwa, dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya Nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan universal.
Adapun nilai-nilai budaya Nusantara meliputi keterjalinan hidup manusia dengan tuhannya, keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan alam, kerukunan dan mempertemukan cita-cita hidup di dunia dan akhirat.
Nilai-nilai kemajuan universal meliputi pendayagunaan Sains dan Teknologi secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa disegala aspek kehidupan.
Menurut Wahjosumidjo
Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila.
Kepemimpinan Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila mencapai untuk tujuan nasional.
Kepemimpinan Pancasila adalah suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan indonesia, sehingga dalam kapemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
 Agar mampu melaksanakan tugas kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Dia harus memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bila dibanding dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan ini terutama meliputi segi teknis, moral, dan semangat juangnya. Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. sehat jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2. memiliki integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab, dan susila.
3. rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya.
4. memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat, efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi, dan mampu memberikan motivasi yang baik kepada bawahan.
5. mampu menilai dan membedakan aspek yang positif dari yang negative dari setiap pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak.

Selanjutnya, di alam kemerdekaan dan pembangunan sekarang, berhasilnya pembangunan nasional sangat bergantung pada ikut sertanya seluruh rakyat Indonesia yang memiliki sikap mental, tekad, semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Untuk hal ini perlu dibangkitkan motivasi membangun di kalangan masyarakat luas, dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinan (local, regional maupun nasional). Sebab dengan keteladanan yang utama- atas dasar pengorbanan dan pengabdian pada kepentingan rakyat banyak, maka segenap rakyat kecil akan rela berperan serta dalam usaha pembangunan. Dengan demikian, dalam era pembangunan sekarang diperlukan tipe kepemimpinan penggugah/stimulator dinamisator untuk menggairahkan semangat pembangunan di segala bidang kehidupan.
Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan pembangunan dan para pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu :
a. kepemimpinan dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu pancasila.
b. Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Khususnya menyadari makna pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan fisik, demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan riil dari rakyat, serta peningkatan kehidupan bangsa atas asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, demokrasi, serta prinsip adil dan adil.
c. Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan Indonesia.
Untuk lebih memahami ketiga hal tersebut di atas, marilah kita renungkan pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral pancasila dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional antara sebagai berikut :
1. yang dimaksud dengan pancasila adalah pancasila yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, berupa kesatuan bulat dan utuh dari kelima sila, yaitu ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. nilai-nilai tersebut harus dihayati, yaitu diresapi serta diendapkan dalam hati dan kalbu, sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diramalkan dengan kesungguhan hati dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat, (sekaligus menjadi dasar negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun damai bersama-sama.
3. pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Kebebasan beragama itu bukan pemberian negara dan bukan pula pemberian golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.
  Pancasila juga dapat dipakai sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima sila dari pancasila secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan yang maha esa, orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang maha Esa dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Jadi ada sikap hormat menghormati dan kerukunan hidup beragama dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan.
2. Kemanusiaan yang adil dn beradab, tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama ,anusia. Tanpa ada diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati, mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia, cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, menempa patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam musywarah/perwakilan, bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan, juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati nuraniluhur.
5. Keadilan sosial, hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan.
 Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin.
 Selanjutnya, kepemimpinan pancasila ialah bentuk kepemimpinan yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai luhur dari norma-norma pancasila, semangat kepemimpinan Pancasila itu dapat terwujudkan, apabila nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dapat dipadukan dengan nilai-nilai modernisasi yang positif, antara lain dengan ciri-ciri demokratis, rasional, kritis, efisien-efektif dan berdisiplin tinggi.

2.3. Sumber Kepemimpinan Pancasila 
Ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
1Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
2Nilai-nilai kepemimpinan universal
3 Nilai-nilai spiritual nenek moyang. 
 Hal-hal yang dapat dianggap sebagai sumber kepemimpinan Pancasila antara lain berupa :
a. Nilai-nilai positif dari modernisme
b. Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang ditulis oleh para nenek moyang.
c. Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku ”manusia utuh” yang mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masing-masing.

2.4. Asas Kepemimpinan Pancasila

 Dikalangan ABRI telah dirumuskan sebelas asas kepemimpinan, yang telah digali dari nilai-nilai kepemimpinan di bumi Indonesia. Semua asas itu dapat diterapkan pada tugas-tugas kepemimpinan pada semua sektor dan eselon, mulai dari guru dan lurah di desa, sampai pada pejabat-pejabat lokal, regional, dan di pusat pemerintahan. Yang paling penting dari kesebelas asas tersebut ialah tiga asas pertama, yang sangat ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantara, dan pada akhirnya dijadikan prinsip utama kepemimpinan Pancasila. Kesebelas asas tersebut ialah :
1. Ing Ngarsa sung Tulada (di depan memberikan teladan)
 Pemimpin yang baik adalah orang yang berani berjalan di depan, untuk menjadi ujung tombak dan tameng/perisai di arena perjuangan, untuk menghadapi rintangan dan bahay-bahaya dalam merintis segala macam usaha. Dengan tekad besar dan keberanian yang membara dia harus sanggup bekerja paling berat, sambil menegakkan disiplin diri sendiri maupun disiplin pengikutnya. Di depan dia menjadi teladan yang baik.
 Seorang pemimpin harus menngabdikan diri kepada kepentingan umum dan kepentingan segenap anggota organisasi. Dia bukan hanya pandai memberi perintah saja, akan tetapi juga bijaksana dalam memberikan petunuju-petunjuk, nasihat-nasihat, perlindungan dan pertimbangan. Di depan dia harus benar-benar berani menjadi ”ujung tombak” bagi setiap usaha rintisan dan perjuangan.

2. Ing Madya Mangun Karsa ( di tengah membangun motivasi dan kemauan)

 Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau terjun di tengah-tengah anak buahnya, merasa senasib sepenanggungan sanggup menggugah dan membangkitkan gairah serta motivasi kerja, semangat tempur/juang, dan etik kerja yang tinggi. Karena dia ada di tengah-tengah anak buahnya, maka dia selalu tanggap dan mampu berpikir serta bertindak dengan cepat serta tepat, sesuai dengan tuntutan kondisi dan situasinya.
 Pemimpin yang sedemikian itu selalu memiliki kesentosaan batin. Dia menghayati kesulitan anak buahnya, dan ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang gawat bersama-sama para pengikutnya. 

3. Tut Wuri Handayani

 Pada saat yang tepat pemimpin juga harus sanggup berdiri di belakang anak buahnya. Hal ini bukan berarti bahwa dengan kecut hati pemimpin ”bersembunyi” di belakang pengikutnya, dan mengekor di balik kekuatan anak buahnya. Akan tetapi harus diartikan sebagai mau memberikan dorongan dan kebebasan, agar bawahannya mau berprakarsa, berani berinisiatif, dan memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan berkarya dan tidak selalu bergantung pada perintah atasan saja.
 Nasihat-nasihat, koreksi, dan petunjuk-petunjuk akan selalu diberikan atas dasar rasa sayang pada anak buah, dan didorong oleh rasa tanggung jawab besar akan keberhasilan usaha yang dilakukan bersama-sama. Dengan demikian, walaupun pemimpin berdiri dibelakang, namun fungsinya memberikan daya kekuatan dan dukungan moril untuk memperkuat setiap langkah dan tindakan bawahannya. Ringkasnya, dibelakang dia mendorong dan memberi pengaruh baik ”yang menguatkan” kepada anak buahnya yang dipimpinnya.

4. Takwa kepada TYME
 Pemimpin Indonesia dituntut agar memiliki keyakinan beragama, keimanan, dan ketakwaan yang teguh terhadap Tuhan yang Maha Esa. Kesadaran sedemikian menimbulkan pengertian bahwa setiap insan Indonesia mempeunyai kedudukan yang sama tingginya di hadapan Tuhan. Kesadaran tersebut menginsyafkan seorang pemimpin, bahwa dirinya bukan seorang yang maha super, bukan pula sumber kewenangan yang mutlak dalam menentukan permasalahandan kedudukan orang lain, terutama bawahan dan pengikut-pengikutnya.
 Kesadaran beragama dan keimanan akan menjadikan orang tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga dia memiliki perasaan kasih sayang, belas kasih terhadap sesama, dan semangat persaudaraan terhadap bawahan yang harus dibimbing dan dikembangkan. Karena itu keimanan kapada Tuhan akan membawa orang untuk selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar, tekun dan rendah hati (tidak sombong).
 Kepercayaan kepada Tuhan akan membuat kalbu dan hati menjadi bersih dan suci lahir batin dan membuat pemimpin menjadi hening, heling, dan awas waspada.
 ”Hening” dalam bahasa Indonesianya berarti diam, teduh, tenang. Dalam hal ini pemimpin diharapkan memiliki batin yang telah mengendap, sehingga dia selalu imbang tenang, tidak pernah gentar, tidak mudah menjadi gugup, khususnya pada saat-saat yang gawat.
 Dalam menghadapi cobaan hidup dan bahaya yang mengancam jiwapun dia harus tetap tenang dan tidak menjadi panik. Sebab apabila dia menjadi takut dan panik, maka para pengikutnya menjadi kacau, dan organisasi mendapatkan kerugian. ”Heneng” tenang, namun penuh ketabahan menghadapi segala tugas-tugas pekerja, serta harus berupaya mencari jalan keluar dari jalan buntu, dan tidak pernah kehabisan akal menyelesaikan setiap permasalahan yan harus ditangani.
 ”Hening” artinya bening, bersih, suci, sejati, ceria, jernih, murni. Pemimpin itu harus memiliki keheningan batin, yaitu ketulusan, kelurusan dan keikhlasan. Dia selalu bersikap jujur terhadap diri sendiri dan terhadap para pengikutnya, tanpa memiliki pamrih kecuali mengabdi dan melayani sebagai seorang pemimpin. Dalam keheningan rasa dan ciptanya, dia selalu tekun memikirkan kemajuan organisasi dan kesejahteraan anak buah yang dibina dan dibimbingnya.
 Heling , artinya ingat, sadar, dan insyaf. Yaitu menyadari hakikta alam dengan segala hukum-hukumnya, juga selalu ingat pada perilaku yang luhur, baik dan jujur. Dengan demikian akan terhindar kesulitan, bahaya, kesdihan, kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Ingat pula bahwa keserakahan hati, kemunafikkan dan kejahatan itu selalu akan menyebarkan malapetaka dan kesedihan, baik pada diri sendiri maupun bagi rakyat banyak.
 ” Awas” artinya dapat melihat. Dapat melihat gejala yang ada di dunia, dengan jalan menguak tabir penyelubung, sehingga setiap peristiwa tampak jelas tanpa penutup, dan bisa dipahami benar karena semua sudah terbuka, orang tidak perlu merasa ragu-ragu, takut, dan cemas. Maka dengan kemampuan menyingkap segala tabir kehidupan, akan tersingkap semua rahasia. Orang tidak menjadi takut, bahkan justru dapat membuat macam-macam rencana untuk masa depan. Semua kesulitan dan hambatan bisa diatasi, sehingga perencanaan dan pelaksanaan kerja bisa diselesaikan menurut jadwal semula.
 Awas itu juga mengandung pengertian waspada dan bijaksana. Waspada itu tajam penglihatan, antisipatoris, bahkan menembuas penglihatan ke depan, tahu sebelum terjadinya sesuatu.
 Bijaksana itu mengandung pengertia pandai, cakap, mahir, bijaksana, mahir, ahli, berpengalaman, cerdik banyak akal, sehingga pribadi yang bersangkutan memiliki kewibawaan untuk memimpin.

5. Waspada purba wisesa (waspada dan berkuasa)

 Waspada itu mempunyai ketajaman penglihatan dan juga mampu menembus penglihatan ke depan, mampu mengadakan forecasting atau meramal bagi masa mendatang, atau bersifat futuristik. Sedang ”murba” atau ”purba” itu artinya mampu mencipta atau mampu mengendalikan menguasai.
Wasesa ialah keunggulan, kelebihan, kekuasaan berdasarkan kewibawaan, atau kewibawaan yang disertai kekuasaan. Jadi purba wasesa ialah mampu menciptakan dan mengendalikan semua kelebihan/keunggulan dan kekuasaan. 

6. Ambeg paramarta
 Ambeg itu artinya mempunyai sifat-sifat. Paramarta (sansekerta :paramartha) artinya yang benar, yang hakiki. Maka ambeg paramartha itu artinya murah, karim, dermawan, mulia, murni, baik hati. Biasanya ”paramartha” selalu disertai dengan ”adil” jadi ambeg adil-paramartha berarti : bersikap adil, mampu membedakan yang penting dan yang tidak penting, sehingga mendahulukan hal-hal yang perlu dan penting, dan menomorduakan peristiwa-peristiwa yang remeh dan tidak penting. Jadi, pemimpin itu harus cakap menyusun satu sistem hierarki, agar selalu dapat memeriksa (haniti priksa), serta menata segala usaha dan prilaku. Ringkasnya, dia mampu dengan tepat memilih mana yang harus didahulukan, dan mana yang harus diusulkan kemudian serta selalu bersikap adil.

7. Ambeg prasaja (bersifat sederhana)

 Ambeg prasaja pada diri pemimpin itu berarti dia bersifat sederhana, terus terang, blak-blakan, tulus, lurus, ikhlas, benar, dan toleran. Sikapnya bersahaja/tunggal, hidupnya juga tidak berlebih-lebihan, tetap sederhana, dan tidak tamak.

8. Ambeg Satya (setia)

 Amberg satya itu ialah bersifat setia, menepati janji, dan selalu memenuhi segala ucapannya. Pemimpin sedemikian ini dapat dipercaya sebab dia jujur-lurus-tulus dan setia, cermat, tepat, dan loyal terhadap kelompoknya. Dia senantiasa berusaha agar hidupnya berguna, dan bisa membuat senang serta bahagia orang lain, terutama bawahan atau anak buahnya.

9. Gemi Nastiti ( hemat dan teliti-cermat)
 Pemimpin yang baik itu sifatnya hemat cermat, dan berhati-hati, tidak boros. Hemat karena ia mampu melaksanakan semua pekerjaan dengan efektif dan efisien. Hemat pula dalam mengelola sumber tenaga manusia, material, dan harta per,odalan, dan menyingkiri semua tingkah laku yang tidak memberi manfaat.
 Cermat itu dalam bahasa Jawanya ialah nastiti, yaitu meneliti dengan sangat hati-hati segala karya, perbuatan, dan peristiwa di sekitarnya. Sedang berhati-hati artinya : pemimpin itu selalu bernalar, cermat, dan teliti. Selalu menggunakan duga prayoga, yaitu pandai menduga-duga apakah yang paling prayoga/baik pada suatu saat. Lalu menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan mara bahaya dan kesengsaraan. Dia sadar dan mampu membatasi penggunaaan dan pengeluaran apa saja untuk keperluan yang benar-benar penting.

10. Blaka ( terbuka, jujur, lurus)
 Pimpinan yang baik harus bersikap terbuka, komunikatif. Dia bersedia memberikan kesempatan kepada bawahan dan orang lain untuk mengemukakan sugesti usul, pendapat, kritik yang konstruktif, dan koreksi. Dia tidak merasa terlalu bodoh atau malu hati untuk belajar dari lingkungan dan bawahannya sendiri sekalipun. Sebab, belajar dari pengalaman orang lain itu merupakan pemerkayaan pribadinya. Ringkasnya, personnya merupakan satu sistem yang terbuka.
11. Legawa (tulus ikhlas)
 Legawa artinya rela dan tulus ikhlas, setiap saat dia bersedia untuk memberikan pengorbanan. Sifat orangnya ialah pemurah (murah hati), karim, dan dermawan. Dia mudah merasa senang bahagia dengan kesukaan yang kecil-kecil, dan tidak mabuk oleh kesukaan yang besar-besar. Karena itu sifatnya prasaja/sederhana dan tulus rela. Jika terjadi kekecewaan dan kegagalan, maka dia bisa ”mupus” atau menghibur diri, dan pasrah menyerah dengan hati yang murni kemudia bangkit kembali, berusaha membangun dan berkarya lagi.

2.5. Landasan Kepemimpinan Pancasila

 Selanjutnya, pada tingkat, jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus mempunyai landasan pokok berupa nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Keempat macam landasan pokok kepemimpinan itu ialah :
1. Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran almarhum Dr. R. Sosrokartono ):
a) Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda)
b) Nglurung tanpa bala (melurug tanpa balatentara)
c) Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
d) Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan)
2. Landasan Kepemimpinan
a) Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya.
b) Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest-interest, dapat melihat jauh ke depan/waskita
c) Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka
d) Sifat guru : memberikan teladan baik.
3. Landasan Pengabdian (Sri Mangkunegara 1)
a) Ruwangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara)
b) Wajib melu angrungkebi (wajib ikut bela negara)
c) Mulat Sarira hangrasa wani (mawas diri untuk bersikap berani)
 
2.6. Kepemimpinan Pancasila Dalam Perspektif Pemimpin yang Ada di Indonesia
 
Kepemimpinan pancasila, teori ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada nilai-nilai pancasila seperti yang dijelaskan oleh lima sila yang ada pada idiologi negara ini. Kepemimpinan pancasila menurut Drs. Sukarna dalam bukunya yang berjudul “kepemimpinan dalam administrasi Negara” adalah kepemimpinan yang Thesis (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa), kepemimpinan yang humanis (memiliki rasa kemanusian), kepemimpinan yang demokratis, kepemimpinan yang runitaris (mempersatukan) dan kepemimpinan yang sosial justice ( kepemimpinan yang berkeadilan).
Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Thesis atau yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa

Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajaran agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin yang seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah diterapkan karena merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya Islam dengan gaya nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh panutannya yaitu Jesust Crist, serta Hindu dan Budha dengan Dewa yang mereka yakini sebagai tokoh panutan dalam bertindak.

2. Kepemimpinan yang humanis

Kepemimpinan model ini berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nilai-niali kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika sosial yang kuat dan menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata, namun adil sesuai dengan hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari para pemimpin model ini.

3. Kepemimpinan yang unitaris atau nasionalis

Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 ini yaitu persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi dari setiap inividu ditujukan kepada kepribadian bangsa. Ada 4 fungsi nasionalisme bagi kepemimpinan administratif menurut Drs. Sukarna, yaitu:
a. Mempersatukan seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan bangsa Indonesia
b. Mengeliminasi dominasi asing, ataupun yang bersifat asing dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya
c. Mempertahankan kepribadian bangsa indonsia di tengah-tengah percaturan global
d. Mengusahakan gengsi dan pengaruh dalam dunia internasional
Kepemimpinan yang menyatukan yang menjadikan perbedaan itu ke suatu arah tujuan bersama itulah ide utama dari kepemimpinan tipe ini, dengan perbedaan yang ada kita tetap teguh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan acaman dari luar. Esensinya bahwa rasa cinta pada negeri yang rasional dan kemampuan untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam masyarakatnya. Kepemimpinan tipe ini harus bebas dari primordial yang sempit, harus mempunyai wawasan nusantara yang mendalam, agar tidak terpengaruhi oleh iming-iming asing yang menggoda sesaat.

4. Kepemimpinan demokratik

Kepemimpinan administratif yang mengacu pada sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis pancasila. Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang demokratis pancasila ini menurut Drs. Sukarna adalah sebagai berikut:
a. Kepemimpinan administartif tunduk dan taat kepada kehendak serta aspirasi-aspirasi rakyat di dalam segala bidang baik yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
b. Kepemimpinan administratif selalu melaksanakan amanat rakyat yang tertuang dalam falsafah hidupnya sendiri, UUD dan aturan lain yang ada dibawahnya yang merupakan aspirasi dan suara rakyat
c. Kepemimpinan demokratik selalu menjunjung tinggi falsafah”ambeg paramarta” yaitu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, buka ororiter atau tirani
d. Kepemimpinan demokratik harus menjunjung tinggi penegakan hukum, karena negara kita adalah negara hukum
e. Kepemimpinan administratif mempunyai kewajiban untuk menegakan HAM 
f. Kepemipinan yang demokratik pada dasarnya tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan, namun meyerahkannya kepada pembagian yang proporsional.

5. Kepemimpinan social justice
 
Kepemimpinan yang didasarkan pada sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Kepemimpinan berkeadilan itulah konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini bukan sama rata dan sama rasa, namu lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan kewajibannya, harus proporsional, oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan ini perlu strategi yang tepat untuk mengasah kemampuan membuat suatu kebijaksanaan yang benar-benar bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini harus pandai membaca situasi, harus pandai mencari kearifan dan menemukan hal-hal yang tidak pernah dikemukakan orang lain yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Ada beberapa ciri-ciri kepemimpinan yang berkeadilan (Sukarna, 2006,75), yaitu:
a. Kepemimpinan selalu mendahulukan kepentingan orang yang mengikutinya atau kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok;
b. Tidak bersifat nepotisme atau mendahulukan orang-orang terdekat dalam setiap pengambilan;
c. Mampu menegakkan keadilan;
d. Tidak mungkin mewujudkan keadilan sosial jika dalam suatu negara atau suatu organisasi yang pemimpinnya menganut paham otoriterisme, karena dalam konsep otoriterisme tidak meengenal keadilan model ini;
e. Menempatkan pengikutnya diatas segalanya, karena dia sebagai pelayan pengikutnya

3.1. Kesimpulan 
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam politik dan ekonomi. Karena hal itu, kerap menimbulakan pola pikir yang mementingkan kelompok atau primordialisme.
Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat Indonesia secara umum, masih sulit mengadakan penyesuaian terhadap hadirnya nilai-nilai baru. Oleh karena itu, diperlukan sosok kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan keragaman tersebut dan dapat memadukan atau menggali inspirasi dari nilai-nilai luhur Nusantara dan nilai-nilai kamajuan universal, yang disebut dengan Kepemimpinan Pancasila.

Kepemimpinan pancasila yang unsur-unsur nilainya memiliki nilai universal, namun, realitanya para pemimpin bangsa ini dalam memimpin tidak sepenuhnya memperlihatkan atau menginternalisasikan nilai-nilai pancasila ke dalam sikap dan tingkah lakunya untuk memimpin masyarakatnya maupun bawahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini. 2008. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sumber internet :
http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/konsep-kepemimpinan-di-indonesia/

http://ujuecho.blogspot.com/2011/04/kepemimpinan-pancasila-yuswa-eko.html\



2 komentar:

  1. Di muka hakim kolonial, pada bagian penutup dari pleidoi ”Indonesia Menggugat” (1930), Soekarno bertutur: ”Kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa… Juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atau peri kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahun pun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu.”

    Dengan pernyataan itu, Soekarno menambatkan perjuangan kemerdekaan Indonesia ke dalam jangkar “kebangsaan”. Suatu bangsa, menurut Ernest Renan, terbentuk karena dua hal: bersama-sama menjalani suatu riwayat dan mempunyai keinginan hidup menjadi satu.

    Merdeka Tanpa Kepemimpinan

    BalasHapus