Rabu, 23 Maret 2011

kurikulum PLS

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Pendidikan mengandung makna yang sangat esensial sebagai proses memanusiakan manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan memiliki keterkaitan dengan berbagai upaya dalam peningkatan kualitas kehidupan manusia secara utuh. Usaha pendidikan diwujudkan dalam pengembangan keseluruhan potensi manusia ke arah yang lebih dewasa dan fungsional sehingga secara kreatif dapat melahirkan berbagai pola tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan tugas dalam kehidupan. Hakikat hasil pendidikan ditandai oleh kesiapan diri dalam menyesuaikan, mengembangkan dan mengadakan pembaharuan ke arah kehidupan yang lebih maju, kreatif dan responsif.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat sesuai dengan perkembangan tuntutan tugas peserta didik dan perkembangan masyarakat yang semakin lama semakin kompleks. Peserta didik dituntut pula untuk dapat secara terus-menerus mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan kecakapan hidupnya.
Wahana untuk mengembangkan kemampuan belajar dan kecakapan hidup dapat diperoleh dari berbagai lembaga pendidikan baik formal, nonformal maupun informal, baik secara terpisah maupun sebagai lembaga yang saling melengkapi dan memperkaya. (UU RI NO. 20, Pasal 13 ayat 1).
Setiap jalur pendidikan pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi yang sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian,masing-masing jalur pendidikan juga memiliki tugas dan fungsi yang khas. Khusus untuk pendidikan nonformal atau pendidikan lular sekolah memiliki tugas untuk memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang memiliki kebutuhan belajar. Sementara fungsinya adalah sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pada bagian lain dinyatakan bahwa fungsi pendidikan nonformal adalah mengembangkan potensi peserta didik dengan penekananpada penguasaan pengetahuandan keterampilan fungsional serta pengembangan sikapdan kepribadian professional. Kemudian hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Pengertian setara disini adalah kesepadanan dalam pengakuan, bobot, nilai, ukuran, kadar, pengaruh, kedudukan, fungsi dan kewenangan. Pendidikan kesetaraan antara lain :
1.Merupakan salah satu jenis pendidikan nonformal yang berstruktur dan berjenjang.
2.Memberikan kompetensi minimal bidang akademik dan lebih memiliki kompetensi dalam kecakapan hidup.
3.Memberikan kompetensi kecakapan hidup agar lulusannya mampu hidup mandiri dan belajar sepanjang hayat.
Berdasarkan hal tersebut, program pendidikan kesetaraan, sebagai bagian dari pendidikan nonformal, harus ditingkatkan mutu, proses dan hasil pendidikannya agar memiliki lulusan yang memiliki kompetensi yang setara dengan pendidikan formal. Untuk itu, perlu silakukan penyempurnaan program pendidikan kesetaraan yaitu program pendidikan kesertaraan Paket A setara SD (Sekolah Dasar), Paket B setara SMP (Sekolah Menengan Pertama), dan Paket C setara SMA (Sekolah Menengah Atas). Salah satu caranya pada saat penyusunan kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 Bab I pasal 1). Dengan menggunakan kurikulum kita akan dapat meningkatkan mutu, proses dan hasil pendidikan. Namun, apakah kurikulum yang digunakan oleh pendidikan formal sama dengan yang digunakan dalam pendidikan nonformal?. Oleh karena itulah kami membuat makalah ini agar kita bisa mengetahui perbedaan kurikulum formal dan nonformal.

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KURIKULUM PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
UNESCO dengan Komisi Edgar Faure telah berhasil meletakkan asas pendidikan yang fundamental dan berlaku untuk penyelenggaraan pendidikan, yakni asas pendidikan seumur hidup atau life long education.
Sebagai dampak timulnya asas pendidikan ini, maka dikenallah berbagai bentuk penyelenggaraan pendidikan dan yang diarahkan bagi pendidikan anak, remaja, orang dewasa maupun orang tua baik mereka belum bekerja mereka yang telah bekerja.
Penyelenggaraan pendidikan demikian pasti berbeda satu sama lain dan pada umumnya dikenal berbeda setiap system pendidikan yang digunakan, yankni system pendidikan luar sekolah di satu pihak dan system pendidikan luar sekolah di lain pihak.
Sebagaimana asas pendidikan seumur hidup, system pendidikan luar sekolah telah lama dikenal dan digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan baik di Negara maju ataupun di Negara yang sedang berkembang.
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. Pendidkan luar sekolah timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan / pendidikan formal saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Berbagai kelemahan sistem persekolahan dimuntahkan, terutama pada aspek - aspek prosedural yang dinilai mengeras, kaku, serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun sistem persekolahan masih tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis yaitu tidak semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi - mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan hidupnya sesuai dengan perkembangan zaman.
PHILLIPS H. COMBS, mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan - tujuan belajar.
Alasan terselenggaranya PLS dari segi kesejarahan, tidak bisa lepas dari beberapa aspek, yaitu:
1.Aspek pelestarian budaya
Pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan) ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian pendidikan luar sekolah pada permulaan kehadirannya sangat dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan. Pada dasarnya semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik. Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan, walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.

2.Aspek teoritis
Salah satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan Philip H. Cooms (1973:10), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan belajar minimum yang esensial. Atas dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Uraian di atas cukup untuk dijadikan gambaran bahwa PLS merupakan lembaga pendidikan yang berorientasi kepada bagaimana menempatkan kedudukan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemauan, harapan, cita-cita dan akal pikiran.

3.Dasar pijakan
Ada tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah RI No.73 tahun1991 tentang pendidikan luar sekolah. Melalui ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan belajar. Adapun bentuk-bentuk satuan PLS., sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989 pasal 9:3 meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak, padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.

4.Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan, melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik. Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan, keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.

5.Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
Lembaga pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
6.Aspek kesejarahan
Pada umumnya sementara orang beranggapan bahwa bila memperbincangkan masalah pendidikan maka orientasinya ke dunia sekolah dan menghubungkan guru dengan murid. Mereka kurang menyadari bahwa sebelum seseorang anak menjadi murid, anak-anak telah memperoleh pendidikan yang diberikan oleh keluarganya terutama ayah dan ibunya.
Hal ini diungkapkan oleh Drs. Suwarno bahwa: “ Di dalam keluargalah anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpentig atau utama terhadap perkembangan pribadi anak”.
Jadi jelas, anggapan sementara orang seperti itu merupakan pengingkaran terhadap kenyataan yang ada dan tidak dapat dibenarkan sama sekali dewasa ini. Di samping itu, jelas seorang anak yang merupakan hasil perhubungan yang sah antara orang tua, sudah selayaknya orang tua mempunyai tanggung jawab moral terhadap pendidikan anak-anaknya.
7.Aspek kebutuhan pendidikan
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan dari masyarakat semakin meluas seiring dengan munculnya Negara-negara yang baru merdeka dengan segala kekurangannya akibat penjajahan di masa lampau yang berlangsung berpuluh-puluh tahun.
Sisi lain yang berpengaruh akan kesadaran kebutuhan pendidikan ini adalah kemajuan ilmu dan teknologi, perkembangan ekonomi, perkembangan politik, yang melanda hamper di semua belahan dunia. Realitas lain adalah makin dibutuhkannya berbagai macam keahlian demi menyongsong kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tuntutan, maka wajar masyarakat menghendaki berbagai peyelenggaraan pendidikan dengan program-program keahlian.
Hal ini berimplikasi pada system dan bentuk-bentuk pendidikan yang dilaksanakan yang seterusnya dikenal dengan adanya system pendidikan sekolah dan system pendidikan luar sekolah, serta ada bentuk pendidikan formal, pendidikan informal, dan pedidikan nonformal.
Dalam realisasi kegiatannya, kedua system pendidikan yakni system pendidikan sekolah dan system pendidikan luar sekolah hendaknya saling menunjang dalam programnya, di dalam kerangka penerusan kebutuhan masyarakat.
8.Keterbatasan sistem persekolahan

Sedangkan ada banyak definisi untuk kata kurikulum. Kurikulum sendiri berasal dari bahasa latin: curere yang artinya berlari cepat. Setelah dikembangkan berbentuk kata kurikulum, artinya berubah menjadi suatu jarak yang harus ditempuh seorang pelari mulai dari start hingga garis finish.
Namun, jika kita cermati kata kurikulum sekarang sangat terkait dan begitu melekat dengan dunia pendidikan, sehingga orang - orang sering menyebut kurikulum sebagai bagian dari dunia pendidikan, bagian yang tak terpisahkan. Ada banyak pengertian mengenai kurikulum diantaranya:
1."Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk kenaikan kelas/mendapatkan ijazah" (kamus Webster 1875).
2."Segala sesuatu yang diperoleh anak di bawah tanggung jawab sekolah" (William B Ragan;Modern Elementary Curricullum, 1963)
Namun, definisi yang diungkapkan oleh William B Ragan mempunyai banyak kelemahan, karena pada kenyataannya, segala pengalaman yang diperoleh seorang anak di sekolahnya tidak selalu positif. Ragan membuat definisi tersebut seolah - olah apapun yang diperoleh anak di sekolah, baik itu positif maupun negatif, menjadi tanggung jawab sekolah, dan disebut kurikulum. Sebagai contoh, apabila seorang anak mencontek atau tawuran di sekolahnya, walaupun hal itu terjadi secara tidak pernah sengaja dijadikan program sekolah, tetap menjadi tanggung jawab sekolah dan disebut dengan kurikulum.
Lalu muncullah definisi lainnya yang dikeluarkan oleh J.B Saylor dan Alexander. “Segala usaha untuk memengaruhi anak belajar, baik di dalam kelas, halaman, maupun di luar sekolah”.
Definisi ini cukup menjawab segara kekurangan definisi yang dikemukakan oleh Ragan. Dalam definisinya, J.B Saylor dan Alexander menggunakan kalimat segala usaha. Ini berarti segala usaha yang diusahakan oleh sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, dan usaha - usaha yang dilakukan oleh sekolah ini diharapkan sebagai hal - hal yang positif, mengingat sekolah adalah suatu lembaga pendidikan. Hal - hal yang tidak diusahakan oleh pihak sekolah tidak disebut sebagai kurikulum.
Setelah itu, ada beberapa tokoh lainnya yang mengutarakan definisi kurikulum. Namun pada intinya, semuanya kurang lebih sama dengan apa yang diutarakan oleh J.B Saylor dan Alexander. Tetapi rupanya definisi - definisi tersebut masih mempunyai satu kekurangan, sehingga keluarlah satu definisi lagi yang dikeluarkan oleh Soedijarto, salah seorang tokoh pendidikan Indonesia.
Beliau mengatakan definisi kurikulum sebagai berikut: “Segala usaha yang diusahakan oleh pihak sekolah untuk mempengaruhi kegiatan belajar mengajar anak, baik di dalam maupun luar sekolah, yang mempunyai tujuan yang sesuai dengan lembaga yang bersangkutan”.
Definisi tersebut melengkapi definisi yang diutarakan oleh J.B Saylor dan Alexander. Jika dibandingkan antara kedua definisi tersebut, definisi J.B Saylor dan Alexander mempunyai kelemahan karena definisinya yang terlalu luas dan hanya berfokus pada segala usaha yang memengaruhi anak belajar, namun tidak ada tujuan jelas untuk apa dan mengapa usaha tersebut perlu dilakukan. Sedangkan definisi yang dikeluarkan oleh Soedijarto dengan jelas menyatakan bahwa kurikulum harus mempunyai tujuan yang sesuai dengan lembaga yang bersangkutan. Dalam artian, semua kurikulum yang dikeluarkan oleh pihak lembaga yang terkait harus cocok dan sesuai dengan lembaga tersebut. Sehingga tidak ada kurikulum yang menyimpang, dan karena ada tujuan, kurikulum menjadi lebih mudah dicapai dan terkonsep.
Kurikulum pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan / pendidikan formal saja. Pendidikan luar sekolah pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan. Agar setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan selalu dibutuhkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju.
Jadi menurut kami Kurikulum Pendidikan Luar Sekolah adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah) dimana pelaksanaannya lebih ditekankan pada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu agar dapat hidup sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEK yang semakin maju.

B. CIRI-CIRI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)
Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.Beberapa bentuk pendidikan luar sekolah yang berbeda ditandai untuk mencapai bermacam-macam tujuan.
2.Keterbatasan pada pendidikan formal menjadikan suatu perlombaan antara beberapa PLS yang dipandang sebagai pendidikan formal dari PLS sebagai pelengkap bentuk-bentuk pendidikan formal.
3.Tanggung jawab penyelenggaraan lembaga pendidikan luar sekolah dibagi oleh pengawasan umum/masyarakat, pengawasan pribadi atau kombinasi keduanya.
4.Beberapa lembaga pendidikan luar sekolah di disiplinkan secara ketat terhadap waktu pengajaran, Teknologi modern, kelengkapan dan buku-buku bacaan.
5.Metode pengajaran juga bermacam-macam dari tatap muka atau guru dan kelompok-kelompok belajar sampai penggunaan audio televisi, unit latihan keliling, demonstrasi, kursus-kursus korespondensi, alat-alat bantu visual.
6.Penekanan pada penyebaran program teori dan praktek secara relative dari pada PLS.
7.Tidak seperti pendidikan formal, tingkat sistem PLS terbatas yang diberikan kredensial.
8.Guru-guru mungkin dilatih secara khusus untuk tugas tertentu atau hanya mempunyai kualifikasi professional dimana tidak termasuk identitas guru.
9.Pencatatan tentang pemasukan murid, guru dan kredensial pimpinan, kesuksesan latihan, membawa akibat peningkatan produksi ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan pendapatan peserta.
10.Pemantapan bentuk PLS mempunyai dampak pada produksi ekonomi dan perubahan sosial dalam waktu singkat dari pada kasus pendidikan formal sekolah.
11.Sebagian besar program PLS dilaksanakan oleh remaja dan orang-orang dewasa secara terbatas pada kehidupan dan pekerjaan.
12.Karena secara digunakan, PLS membuat lengkapnya pembangunan nasional. Peranannya mencakup pengetahuan, keterampilan dan pengaruh pada nilai-nilai program.
13.Diselengarakan dengan tidak berjenjang, tidak berkesinambungan dan dilaksanakan dalam waktu singkat.
14.Karena sifatnya itu sehingga tujuan, metode pembelajaran dan materi yang disampaikan selalu berbeda di masing-masing penyelenggara PLS.

Sedangkan ciri-ciri kurikulum Pendidikan Luar Sekolah itu sendiri yaitu:
1.Diidentifikasi bersama
2.Direncanakan bersama
3.Dibuat bersama warga
4.Dievaluasi bersama
5.Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat.
6.Penyusunan program melibatkan masyarakat secara partisipatif



C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)

Persamaan
Persamaan antara PLS dengan pendidikan persekolahan dapat diperhatikan dari dua sudut pandang yaitu sudut pandangan masyarakat dan sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewaris atau pemindahan nilai-nilai intelek, seni, politik, ekonomi, agama dan lain sebagainya; Sedangkan dari segi pandangan individual, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi manusia (Hasan Langglung, 1980). Persamaan lainnya yaitu fungsi pendidikan adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, Teknologi dan keterampilan bahwa menyiapkan suatu generasi agar memiliki dan memainkan peranan tertentu dalam masyarakat.
Proses pendidikan selalu melibatkan masyarakat dan semua perangkat kebudayaan sesuai dengan nilai dan falsafah yang dianutnya.

Perbedaan
Secara prinsip, satu-satunya perbedaan antara pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah legitimasi atau formalisasi penyelenggaraan pendidikan. Tentang perbedaan penyelenggaraan ini, secara institusional, tercantum pada Undang-Undang RI nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10:2-3. selanjutnya, perbedaan secara operasional, Umberto Sihombing melalui bukunya Pendidikan Luar Sekolah: Manajemen Strategi (2000:40-46) menuliskan secara khusus dan sistematis tentang perbedaan antara Pendidikan Luar Sekolah dengan Pendidikan Sekolah.
Pendidikan luar sekolah (PLS) sangat berbeda dengan pendidikan sekolah, khususnya jika dilihat dari sepuluh unsur dibawah ini.

PENUTUP

KESIMPULAN
Kurikulum sendiri berasal dari bahasa latin: curere yang artinya berlari cepat. Setelah dikembangkan berbentuk kata kurikulum, artinya berubah menjadi suatu jarak yang harus ditempuh seorang pelari mulai dari start hingga garis finish. Kurikulum juga beraqrti segala usaha yang diusahakan oleh pihak sekolah untuk mempengaruhi kegiatan belajar mengajar anak, baik di dalam maupun luar sekolah, yang mempunyai tujuan yang sesuai dengan lembaga yang bersangkutan. Pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan - tujuan belajar.
Kurikulum Pendidikan Luar Sekolah adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah) dimana pelaksanaannya lebih ditekankan pada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu agar dapat hidup sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEK yang semakin maju.
Kurikulum Pendidikan Luar Sekolah tentu tidak sama dengan kurikulum Sekolah Formal. Kurikulum Pendidikan Luar Sekolah dan Kurikulum Sekolah Formal memiliki persamaan dan perbedaannya. Salah satu persamaanya yaitu fungsi pendidikan adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, Teknologi dan keterampilan bahwa menyiapkan suatu generasi agar memiliki dan memainkan peranan tertentu dalam masyarakat. Kedua pendidikan tersebut sama-sama memilliki fungsi untuk menyiapkan suatu generasi agar memiliki peranan dalam masyarakat. Sedangkan perbedaannya itu terletak secara prinsip, satu-satunya perbedaan antara pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah legitimasi atau formalisasi penyelenggaraan pendidikan. Selain itu kurikulum dalam Pendidikan Luar Sekolah bersifat lebih fleksibel dan dalam penyusunannya masyarakat ikut berpartisipasi.


DAFTAR PUSTAKA

Joesoef Soelaiman. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kurdie Syuaeb. 2002. Pendidikan Luar Sekolah. Cirebon: CV. Alawiyah.
Napitupulu, W.P. 1992. Pedoman Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Grasindo.
Pendidikan Kesetaraan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjana, D. 2004. Manajemen Program Pendidikan, Untuk Pendidikan Non Formal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar