Rabu, 05 Januari 2011

Dimensi struktur sosial budaya dalam fenomena ketenagakerjaan

1.1. Latar Belakang

Surplus tenaga kerja sudah lama menjadi masalah serious dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang berkembang pesat menghasilkan angkatan kerja yang berjumlah besar dan tumbuh cepat. Karena itu sejumlah besar angkatan kerja tidak terserap dalam ekonomi Indonesia. Kelebihan pasokan tenaga kerja dalam jumlah besar ini menimbulkan masalah ketenagakerjaan yang serious dan tersebar luas. Dampak utama adalah meledaknya sektor informal dan setengah pengangguran, sehingga intensitas dan produktivitas pekerja rendah yang menyebabkan penghasilan pekerja sangat kecil. Akibatnya tingkat hidup sebagian besar penduduk masih sangat rendah, malahan sejumlah besar penduduk masih hidup dalam kemiskinan. Perencana, pembuat kebijakan dan pengamate konomi Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah ini. Pengangguran, setengah pengangguran dan rendahnya tingkat hidup sudah lama menjadi masalah serious dan tidak pernah berkurang selama 40 tahun pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan selama kurun waktu “Keajaiban Ekonomi” (ekonomi tumbuh cepat dalam tahun sembilan-puluhan) struktur ekonomi yang timpang tidak banyak membaik.
Ditambah lagi dengan struktur budaya masyarakat Indonesia yang belum memiliki budaya etos kerja yang tinggi. Budaya malas masih sering hinggap di masyarakat Indonesia. Masalah karakter atau etos kerja bagi bangsa Indonesia adalah salah satu masalah yang amat krusial, bukan hanya karena banyaknya penganggur yang sampai saat ini masih tetap tinggi. Namun yang bekerjapun disamping penghasilannya yang pas-pasan, kebanyakan diantara para pekerja itu seolah tidak mempunyai daya dan motivasi dalam bekerja sehingga mereka tampak seperti pasrah dan menyerah pada nasib. Nasib malahan diyakini sebagai sebuah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan, dan oleh karenanya tidak boleh ditentang.
2.1. Pengertian Struktur Sosial Budaya
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal.
Para ahli sosiologi merumuskan definisi struktur sosial sebagai berikut:
1.George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.
2. George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.
3. William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.
4. Soerjono Soekanto: struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial.
A. Ciri-ciri Struktur Sosial
1. Muncul pada kelompok masyarakat
Struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status dan peran. Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca ketika mereka berada dalam suatu sebuah kelompok atau masyarakat. Pada setiap sistem sosial terdapat macam-macam status dan peran indvidu. Status yang berbeda-beda itu merupakan pencerminan hak dan kewajiban yang berbeda pula.
2. Berkaitan erat dengan kebudayaan
Kelompok masyarakat lama kelamaan akan membentuk suatu kebudayaan. Setiap kebudayaan memiliki struktur sosialnya sendiri. Indonesia mempunyai banyak daerah dengan kebudayaan yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan beraneka ragam struktur sosial yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Hal-hal yang memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia adalah sbb:
a. Keadaan geografis
Kondisi geografis terdiri dari pulau-pulau yang terpisah. Masyarakatnya kemudian mengembangkan bahasa, perilaku, dan ikatan-ikatan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Mata pencaharian
Masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian yang beragam, antara lain sebagai petani, nelayan, ataupun sektor industri.
c. Pembangunan
Pembangunan dapat memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia. Misalnya pembangunan yang tidak merata antar daerah dapat menciptakan kelompok masyarakat kaya dan miskin.
3. Dapat berubah dan berkembang
Masyarakat tidak statis karena terdiri dari kumpulan individu. Mereka bisa berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Karenanya, struktur yang dibentuk oleh mereka pun bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
B. Fungsi Struktur Sosial
1. Fungsi Identitas
Struktur sosial berfungsi sebagai penegas identitas yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam latar belakang ras, sosial, dan budaya akan mengembangkan struktur sosialnya sendiri sebagai pembeda dari kelompok lainnya.
2. Fungsi Kontrol
Dalam kehidupan bermasyarakat, selalu muncul kecenderungan dalam diri individu untuk melanggar norma, nilai, atau peraturan lain yang berlaku dalam masyarakat. Bila individu tadi mengingat peranan dan status yang dimilikinya dalam struktur sosial, kemungkinan individu tersebut akan mengurungkan niatnya melanggar aturan. Pelanggaran aturan akan berpotensi menimbulkan konsekuensi yang pahit.
3. Fungsi Pembelajaran
Individu belajar dari struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan mengingat masyarakat merupakan salah satu tempat berinteraksi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah struktur sosial masyarakat, mulai dari sikap, kebiasaan, kepercayaan dan kedisplinan.
C. Bentuk Struktur Sosial
Bentuk struktur sosial terdiri dari stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Masing-masing punya ciri tersendiri.
1. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi berasal dari kata strata atau tingkatan. Stratifikasi sosial adalah struktur dalam masyarakat yang membagi masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan. Ukuran yang dipakai bisa kekayaan, pendidikan, keturunan, atau kekuasaan. Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan, hak istimewa dan prestiselah yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi sosial. Adanya perbedaan dalam jumlah harta, jenjang pendidikan, asal-usul keturunan, dan kekuasaan membuat manusia dapat disusun secara bertingkat. Ada yang berada di atas, ada pula yang menempati posisi terbawah.

Berdasarkan sifatnya, stratifikasi sosial dapat dibagi menjadi 2:
1. Stratifikasi Sosial Tertutup
Adalah stratifikasi sosial yang tidak memungkinkan terjadinya perpindahan posisi (mobilitas sosial)
2. Stratifikasi Sosial terbuka
Adalah stratifikasi yang mengizinkan adanya mobilitas, baik naik ataupun turun. Biasanya stratifikasi ini tumbuh pada masyarakat modern.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial:
a. Mobilitas Sosial Horizontal
Di sini, perpindahan yang terjadi tidak mengakibatkan berubahnya status dan kedudukan individu yang melakukan mobilitas.
b. Mobilitas Sosial Vertikal
Mobilitas sosial yang terjadi mengakibatkan terjadinya perubahan status dan kedudukan individu.
Mobilitas sosial vertikal terbagi menjadi 2:
1. Vertikal naik
Status dan kedudukan individu naik setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.
2. Vertikal turun
Status dan kedudukan individu turun setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.
c. Mobilitas antargenerasi
Ini bisa terjadi bila melibatkan dua individu yang berasal dari dua generasi yang berbeda.
c. Stratifikasi Sosial Campuran
Hal ini bisa terjadi bila stratifikasi sosial terbuka bertemu dengan stratifikasi sosial tertutup. Anggotanya kemudian menjadi anggota dua stratifikasi sekaligus. Ia harus menyesuaikan diri terhadap dua stratifikasi yang ia anut.
Menurut dasar ukurannya, stratifikasi sosial dibagi menjadi:
a. Dasar ekonomi
Berdasarkan status ekonomi yang dimilikinya, masyarakat dibagi menjadi:
1) Golongan Atas
Termasuk golongan ini adalah orang-orang kaya, pengusaha, penguasan atau orang yang memiliki penghasilan besar.
2) Golongan Menengah
Terdiri dari pegawai kantor, petani pemilik lahan dan pedagang.;
3) Golongan Bawah
Terdiri dari buruh tani dan budak.
b. Dasar pendidikan
Orang yang berpendidikan rendah menempati posisi terendah, berturut-turut hingga orang yang memiliki pendidikan tinggi.
c. Dasar kekuasaan
Stratifikasi jenis ini berhubungan erat dengan wewenang atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Semakin besar wewenang atau kekuasaan seseorang, semakin tinggi strata sosialnya. Penggolongan yang paling jelas tentang stratifikasi sosial berdasarkan kekuasaan terlihat dalam dunia politik.

Dampak adanya stratifikasi sosial:
a. Dampak Positif
Orang yang berada pada lapisan terbawah akan termotivasi dan terpacu semangatnya untuk bisa meningkatkan kualitas dirinya, kemudian mengadakan mobilitas sosial ke tingkatan yang lebih tinggi.
b. Dampak Negatif
Dapat menimbulkan kesenjangan sosial
B. Diferensiasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, diferensiasi sosial adalah penggolongan masyarakat atas perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama atau sejajar. Jenis diferensiasi antara lain:
a. Diferensiasi ras
Ras adalah su8atu kelompok manusia dengan ciri-ciri fisik bawaan yang sama. Secara umum, manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok ras, yaitu Ras Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid. Orang Indonesia termasuk dalam ras Mongoloid.
b. Diferensiasi suku bangsa
Suku bangsa adalah kategori yang lebih kecil dari ras. Indonesia termasuk negara dengan aneka ragam suku bangsa yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga papua.
c. Diferensiasi klen
Klen merupakan kesatuan keturunan, kepercayaan, dan tradisi. Dalam masyarakat Indonesia terdapat 2 bentuk klen utama, yaitu:

a. Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal)
Contohnya yang terdapat pada masyarakat Minangkabau.
b. Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal)
Contohnya yang terdapat pada masyarakat Batak.
d. Diferensiasi agama
Di Indonesia kita mengenal agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu, dan kepercayaan lainnya.
e. Diferensiasi profesi
Masyarakat biasanya dikelompokkan atas dasar jenis pekerjaannya.
f. Diferensiasi jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, masyarakat dibagi atas laki-laki dan perempuan yang memiliki derajat yang sama.

2.2. Dimensi-dimensi Struktur Sosial Budaya

struktur sosial adalah ’merupakan jaringan daripada unsur-unsur sosial yang pokok dalam kehidupan di masyarakat’. Unsur-unsur sosial yang pokok tersebut antara lain: (1) interaksi sosial; (2) kelompok sosial; (3) kebudayaan atau nilai-norma sosial; (4) lembaga-lembaga sosial; (5) stratifikasi sosial; dan (6) kekuasaan atau wewenang (Soekanto, S., 1984); dan (2) Konsep ‘struktur’ yang dipergunakan dalam analisis teori-teori sosiologi. Dalam hal ini ada dua konsep yang berbeda, yaitu: Pertama, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori fungsional struktural, adalah ‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor dan memaksa (determinis) pada aktor atau individu dalam melakukan aktifitas sosial di masyarakat. Jadi, struktur sosial berperan untuk membentuk, mengekang dan menentukan aktifitas sosial individu dalam masyarakat; dan Kedua, konsep ‘struktur’ menurut pandangan teori strukturasi Giddens, yaitu: Struktur dimaknai sebagai ‘properti-properti’ yang berstruktur, atau ‘seperangkat atau sekumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasi’ (recursively organized sets of rules and resources). Dalam hal ini berarti: Struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Struktur bukan bersifat mengekang, mewarnai, membentuk dan memaksa tindakan sosial individu di masayarakat, sebab ada faktor agen (kemampuan jiwa, pikiran individu) juga ikut mewarnai, menentukan aktifitas sosial individu di masyarakat (Giddens, 1984; Faisal, S. 1998). Jadi, dalam pandangan teori strukturasi, makna struktur sosial bisa menggambarkan fenomena yang berskala makro dan juga menggambarkan fenomena yang berskala mikro, keduanya (makro-mikro) saling mengisi.
Menurut Mc. Guire dalam Soekanto, S., (1984), bahwa mengkaji tentang struktur sosial harus dipahami dimensi-dimensi struktur sosial masyarakat, sedangkan dimensi-dimensi struktur sosial adalah:
1. Dimensi yang mencakup status atau kedudukan sosial (social status), yang bisa didasarkan atas: status keluarga atau keturunan, status kekayaan, status keahlian atau kemampuan, status pengaruh/ kekuasaan, status adat atau tradisi dan sebagainya. Dari status tersebut tersebut memunculkan stratifikasi sosial dalam tiga lapisan, yaitu: upper class, middle class, dan lower class.
2. Dimensi yang mencakup lembaga-lembaga sosial (social institution), yaitu meliputi: political institution, domestic institution, economc institution, educational institution, scientific institution, religious institution, somatic institution, dan sebagainya.
3. Dimensi yang mencakup derajat konformitas terhadap perilaku yang tidak dikehendaki (pantang) atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Konformitas tersebut mencakup titik yang paling patut dilakukan sampai pada penyimpangan (deviant).
4. Dimensi yang mencakup kelompok-kelompok sosial, misalnya: calor caste, ethnic group, varian orientation, varian by society, dan sebagainya.
Keempat, konsep kehidupan sosial sebagai suatu sistem. Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau kait mengkait dalam proses kehidupan.
Menurut Berry, D., (1981), bahwa sistem sosial pada dasarnya adalah bagian dari pembahasan tentang masyarakat (society), dalam dialog sehari-hari sering pengertian ‘masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’ hampir sinonim, terutama dalam mengungkap tentang ‘sistem masyarakat’ dengan ‘sistem sosial’, padahal tidak selalu demikian, karena meskipun konsep ‘sistem’ dapat dikenakan pada masyarakat yang memiliki kekuatan ‘impersonal’ terhadap individu, sistem juga dapat berhubungan dengan aspek-aspek atau karakter individu, misalnya: sistem di universitas bisa mendorong dosen bertindak otoriter; sistem dalam kepartaian, bisa mendorong DPR melakukan korupsi, sistem rumah sakit bisa menyebabkan orang menjadi sakit (hal ini sering disebut dimensi latensi).
Sedangkan karakteristik suatu sistem sosial adalah: Pertama, ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem masyarakat) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan anak; Kedua, perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya; dan Ketiga, antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat deterministik (saling mempengaruhi).
Sifat determinasi sub sistem satu pada sub sistem lainnya dalam ‘sistem sosial’ tersebut akan memungkinkan menghasilkan dua bentuk, yaitu: (1) membawa perubahan yang mengarah kepada pulihnya kembali keseimbangan sistem (equilibrium) dan mempertahankan status quo; dan (2) membawa perubahan yang mengarah pada kegoncangan sistem karena munculnya beragam perilaku menyimpang para angggota sistem (Soekanto, S., 1984; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Dalam kehidupan masyarakat modern, ‘sistem sosial’ akan berkembang semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi dan banyak ditandai oleh pertimbangan-pertimbangan instrumental, karena perkembangnya spesialisasi-spesialisasi bidang kehidupan (Habermas, J., 1986).
Suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial’. Unsur-unsur sistem sosial tersebut antara lain: (a) pengetahuan atau keyakinan; (b) sentimen atau perasaan (tindakan afektif); (c) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (d) nilai dan norma sosial; (e) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (f) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (g) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (h) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (i) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (j) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M., 1998).
Contoh keterkaitan antar unsur-unsur sosial tersebut dalam kehidupan sosial yang menggambarkan ‘suatu sistem’ adalah: ‘misalnya dalam kehidupan keluarga, seseorang yang membangun kehidupan keluarga agar berlangsung secara integratif, maka: (a) harus mendasarkan pada sistem keyakinan atau pengetahuan yang baik tentang syarat-syarat membangun keluarga bahagia (integratif); (b) proses sosialisasi dan interaksi antar anggota keluarga (ayah, ibu dan anak) tersebut harus berdasarkan ikatan batin yang kuat, satu keyakinan, satu perasaan atau didasarkan pada tindakan afektif; (c) semuan anggota keluarga dalam menjalin interaksi dan sosialisasi harus berdasarkan pada tujuan atau sasaran atau cita-cita yang telah disepakati dalam keluarga, yaitu mencapai keluarga bahagia (keluarga yang integratif); (d) dalam membangun keyakinan, interaksi dan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan keluarga, harus mendasarkan pada nilai dan norma yang telah disepakati dalam keluarga; (e) dalam upaya mewujudkan peran atau fungsi anggota keluarga di atas, maka harus diperhatikan keberagaman kedudukan (status) atau lapisan status dan peranan (role) masing-masing angggota dalam keluarga; (f) dalam upaya merealisasikan tujuan terwujudkan integrasi keluarga, maka diperlukan figus orang tua yang melaksanakan wewenang atau kekuasaan dalam keluarga secara demokrasi; dan (g) agar pelaksanaan pemberian layanan pendidikan pada anaka dan anggota keluarga secara baik maka diperlukan sarana dan prasarana dengan baik dan adanya sistem kontrol yang tegas tetapi mendidik’.

2.3. Dimensi-Dimensi Struktur Sosial Budaya Dalam fenomena Ketenagakerjaan
Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada remedi yang tepat.
Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah sikap mental. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi pada produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan bertindak produktif. Itulah yang disebut budaya kerja positif (produktif). Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen: (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja, (2) sikap terhadap karyawanan, (3) perilaku ketika bekerja, (4) etos kerja dan (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif?
Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini pulalah juga agaknya yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif. Perusahaan belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu?
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan.

3.1. Kesimpulan

Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status dan peran. Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca ketika mereka berada dalam suatu sebuah kelompok atau masyarakat.
Fungsi Struktur Sosial : Fungsi Identitas, Fungsi Kontrol, dan fungsi pembelajaran. Menurut Mc. Guire dalam Soekanto, S., (1984), bahwa mengkaji tentang struktur sosial harus dipahami dimensi-dimensi struktur sosial masyarakat, sedangkan dimensi-dimensi struktur sosial adalah:
1. Dimensi yang mencakup status atau kedudukan sosial (social status), yang bisa didasarkan atas: status keluarga atau keturunan, status kekayaan, status keahlian atau kemampuan, status pengaruh/ kekuasaan, status adat atau tradisi dan sebagainya.
2. Dimensi yang mencakup lembaga-lembaga sosial (social institution), yaitu meliputi: political institution, domestic institution, economc institution, educational institution, scientific institution, religious institution, somatic institution, dan sebagainya.
3. Dimensi yang mencakup derajat konformitas terhadap perilaku yang tidak dikehendaki (pantang) atau yang dikehendaki oleh masyarakat. Konformitas tersebut mencakup titik yang paling patut dilakukan sampai pada penyimpangan (deviant).
4. Dimensi yang mencakup kelompok-kelompok sosial, misalnya: calor caste, ethnic group, varian orientation, varian by society, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar